Perjalanan di Ranah Minang dilanjutkan. Hari kedua ini banyak kejutan manis. Salah satunya sudah kuceritakan ketika kami menemukan rumah makan dendeng baracik yang ternyata adalah makanan langka.
Awalnya aku sempat ingin membatalkan perjalanan ke arah sekitar Gunung Talang ini ( gunung api ini sempat aktif beberapa waktu lalu , dan penduduk sempat mengungsi) , karena merasa jaraknya cukup jauh dan yang dituju hanya dua buah danau kembar yang ukurannya lebih kecil dari danau-danau lainnya di Sumatera Barat, lagipula aku pun telah pernah melihatnya. Untunglah diurungkan.
Apa yang ditemukan ? Tak hanya ada danau kembar di wilayah itu .
Di tengah perjalanan, di tikungan tepat di tepi jurang terjal, kira-kira menempuh waktu 3 jam dari Bukittinggi, tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah plang situs cagar budaya. Inilah yang membuat eMak memberiku julukan si mata cagar. Mobil segera dihentikan, dan kutanyakan letak masjid pada tukang ojek yang mangkal. Mobil bisa masuk ke dalam jalan kecil menurun sejauh 800 meter. (Foto : Adel Ilyas)
Sangat mengesankan dari atas memandang ke dasar lembah sempit ada masjid kayu tua bergaya mirip masjid Demak. Masjid indah ini beratap ijuk. Masjid dibangun pada sekitar tahun 1600-an dan pernah mengalami perbaikan, tetapi sebagian besar masih asli. Ternyata, ini kejutan juga buat eMak karena meski pernah menuliskan ini sebagai tulisan tamu di blognya Atta, tetapi baru kali ini juga melihat masjid kuno bersejarah ini secara langsung.
Masjid ini terletak di pinggir sungai kecil, yang airnya dialirkan ke masjid untuk kamar mandi. Di sini juga ada rumah bedug yang menaungi bedug yang panjang dan terlihat tua. Sayang tak ada orang yang bisa ditanyai dan pintu masjid pun terkunci dari luar, jadi kami hanya bisa mengintip dari jendela saja. Masjid terlihat sederhana, tapi tetap ada ukiran tumbuhan di bagian atap. Jadi ingin tahu juga jenis kayu yang dipakai untuk masjid ini.
Menurut Wikipedia : ” Jumlah tiangnya yang sebanyak 27 buah melambangkan enam suku yang masing-masing terdiri dari ampek jinih (empat unsur pemerintahan adat) sehingga jumlahnya 24 bagian, ditambah dengan tiga unsur dari agama yakni khatib, imam dan bilal, sehingga jumlahnya menjadi 27. Kuatnya syariat agama Islam di daerah tersebut juga tergambar dari jumlah jendelanya yang 13 buah, yang mengisyaratkan rukun Salat yang 13 macam.”
masjid tuo
Kejutan lainnya dilokasi itu, persis di depan masjid , ada sekelompok orang yang sedang berkumpul di pancuran air gunung . Semuanya perempuan dan berbusana rapi seperti mau kondangan. Salah seorang ibu memanggil dan mempersilahkan ambil foto. Rupanya sedang ada acara Turun Mandi untuk seorang bayi perempuan yang telah berumur 40 hari. Anugerah sekali di saat tak disangka melihat sebuah peristiwa budaya.
Di sana ada adat memandikan bayi pertama kali di luar rumah yang dijalankan oleh seorang dukun bayi. Yang berperan di sini adalah bako dari sang bayi, yaitu saudara perempuan ayah, yang akan menggendong si bayi. Jika sudah turun mandi bayi sudah boleh diajak keluar rumah. Kelengkapan upacaranya adalah air kelapa yang diguyurkan ke badan bayi, setelah diguyur bayi dimandikan seperti biasa. Ada pula disediakan cermin, bedak dan sisir, yang dimaksudkan agar bayi nanti tampil jadi anak yang cantik. Bila bayinya lelaki, perlengkapannya adalah peci dan sarung, dan bako akan memakai pakaian lelaki juga. (Foto : Adel Ilyas)
Sungguh aku terkesan dengan keramahan para ibu ini, karena setelah acara selesai mereka mengundang kami datang ke rumahnya di atas bukit, karena ada acara selamatan juga. Aku berterima kasih, tapi kami masih harus melanjutkan perjalanan. Lengkapnya acara ini mungkin nanti bisa ditambahkan oleh eMak Adel LJ.
Kejutan lain terjadi di hari terakhir ketika kami dalam perjalanan pulang. Sebuah masjid tua cagar budaya yang sebetulnya berlokasi dekat dari rumah emak LJ tak sempat dimampiri, tapi karena ada kemacetan di jalur utama, pak supir membawa lewat jalur lain yang pada akhirnya melewati masjid Jamik Taluak. Jadi teringat komentar oom NH di Ladang Jiwa : “you are all blessed”. Mungkin benar ya perjalanan kali ini punya banyak kejutan indah yang akan kuceritakan satu persatu. Inilah foto masjid tua itu, foto oleh Adel Ilyas, yang dikirimkan kepadaku, karena kami tak lagi sempat mampir untuk ambil foto. Kerja sama yang mesra ya…, terima kasih banyak dan peluk erat buat eMak.
Masjid dari tahun 1900 ini masih mempertahankan ciri khas arsitektur mesjid tradisional Minangkabau yang berupa atap balenggek atau bertingkat-tingkat. Menara mesjid, sebagai pengaruh Arab baru didirikan10 tahun kemudian.(Sumber : Minang Lamo ) . Masjid mengalami rusak parah pada 2007 akibat gempa dan kini telah direstorasi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya.
Mesjid-mesjid bersejarah yangtak tergantikan,mudah2an pemerintah daerah yang benar-benar memperhatikan dengan sepenuh hati tentang perawatannya…. 🙂