Gara-gara mbak EM posting tentang puisi yang dibuat anaknya Riku, aku jadi teringat ada puisi yang kusuka. Terus terang aku tak terlalu bisa menikmati puisi.
Tetapi lain halnya dengan puisi karya pak Taufiq Ismail ini. Aku langsung jatuh cinta ketika mendengar pertama kali ketika dibacakan oleh seorang gadis manis di sebuah acara bertahun lalu. Aku masih SMP waktu itu.
Aku tersentak mendengar puisi ini dibacakan dengan bergelora. Masih ingat bagaimana aku terpaku, sampai merinding bulu kuduk. Aku jadi membayangkan savana di tanah Sumba dengan kuda-kuda Sumba yang terkenal itu, terbayang suasana perayaan Pasola ketika para pengendara kuda membawa senjata tradisional dan berpakaian adat Sumba dengan ujung kain yang melayang tertiup angin. Rasanya jadi sangat jatuh cinta pada tanah air sendiri. Andaikan bisa kutengok tanah Sumba.
Hanya dua baris yang sempat kutangkap. “Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh”. Dulu, karena sangat terpesona aku bertekad mencari puisi ini. Setiap ke toko buku aku selalu menanyakan buku kumpulan puisi beliau, tapi tak pernah jumpa, maklum dulu masih tinggal di kota kecil. Beruntung ada internet ya, bisa bertemu dengan situs sang penyair sendiri, dan senangnya beliau memuat puisi yang kucari, ternyata judulunya Beri Daku Sumba. Terima kasih ya Bapak.
Ini puisinya yang kupinjam dari situsnya pak Taufiq Ismail sendiri.
Beri Daku Sumba
aneh, aku jadi ingat pada UmbuRinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung hargaTanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sanaBeri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
1970
He he.. ternyata sama ya.Duluaku sering ikut lomba baca puisi dan seringkali pusisi ini dijadikan pusisi wajib lomba.. masih agak hapal..
waaah hebat sekali emang pak taufiq
hanya dengan puisi, beliau mengajak kita ke pulau Sumba
pembaca jadi bisa menikmati keindahan nya
Baca judul postingannya, aku pikir Mbak Monda dari Sumba hehehhe…..ternyata itu judul puisinya Taufik ismail….emang keren puisinya….persis seperti gambaran Sumba yg sebenarnya (menurut cerita suamiku, soale suamiku asli dari Pulau Sumba)
pak taufik ismail emang kereeen…
nice share bun!
Saya juga sukaaaaaaaaaaaa sekali puisi ini!
Kalimat-kalimatnya menggetarkan, dan membuat bulu kuduk saya juga ikut merinding…
Subhanallah, indah banget puisi ini.
Thanks sudah ditulis lengkap ya mbak, jadi saya nggak perlu googling 😉
Berasa banget menggebu2 puisinya 🙂
*berusaha mencoba memahami puisi*
wah sorry terlambat baca. Ya aku juga suka puisi Pak Taufik Ismail, tapi tidak ada yang aku hafal. Dan puisi pilihan mbak Monda ini baru pertama kali aku baca. Terima kasih utk sharingnya mbak.
EM
puisi yang bagus, tapi saya suka kesulitan bun untuk mengartikan puisi
Bunda Monda, puisi ternyata indah ya, saya tertarik baca puisi gara2 film AADC, jaman saya SMA, hahahhaah… meskipun kadang saking “tingginya” puisi, saya suka gak ngerti, hehehehe.. tapi yang ini, simply beautiful for me… 🙂
Puisi Drh Taufik Ismail
Dulu sering dijadikan puisi wajib jika ada perlombaan membaca puisi di Kampus
Salam saya Kak
(salah satu kata-kata yang ada dalam puisinya yang sempat saya ingat adalah …
… kilau skalpel dan pisau bedah …
puisi lama namun tetap indah
pak taufik ismail coba undang masuk ke sini
biar kita diskusi dengan beliau disini
waaaaahhhh pada bicarakan puisi semua ya nich?…..hehehehehhehehehe
salam persahabatan dr MENONE
Mbak Monda …….. tos dulu …heehehe.. 😀
karena sama2 gak bisa bikin puisi, cuma jadi penikmat saja .
duh, kayaknya hampir semua karya Pak Taufik memang karya besar ya Mbak .
eh ya, kemarin waktu aku pulkam sama2 putri usagi ke bukittinggi, kita mampir lho di Rumah Puisinya Taufik Ismail ,Mbak 🙂
*curcol*
salam
Ingat rumah puisi itu pernah diposting emak, mana dong cerita pulkam versi bunda? Ngiri bun, pengen ngikut.
bunda dan emak sengaja mehibahkan tugas ttg kopdar di bukik itu pd putri , Mbak Monda 😛
salam
Aku ga bisa baca puisi bunda..
Bikinnya juga ga bisa..
Tapi senang menikmati orang yang sedang baca puisi dan suka menulis puisi *ngiri*
Senasib deh kita nchie, …
baru pertama kali ini baca puisi ini. kalimat2nya memang kuat. keren! hehe
Setuju kan mbak Kris, kita yg lugu ini juga jadi mudeng ya
Sama, Arman, puisi2an aku nol besar deh. Tp benar kata masbro puisi ini mudah dicerna orang awam kayak kita.
pingin baca puisi ini dengan lantang..
ada kerinduan yg memuncak dalam puisi ini
sehingga siapa saja yang membacanya akan merasakan geloranya…
Prit, ayo buat video blogging, bacain puisi ini buatku, ya. Permintaan khusus nih, please
puisinya bagus banget bun, sy suka mencipta dan baca puisi …. sayang tidak bisa didengar yach
masih ingat saat smp jadi rindu yach …??
belum pernah tau puisi ini sebelumnya… tapi emang saya bukan penggemar puisi sih. eh tepatnya gak ngerti kali ya. hahaha.
tapi puisi ini bagus nih… *sok ngerti* 😀
Ikutan baca puisinya juga Bun…
sapa tahu ketularan ilhamnya, bisa bikin puisi juga buat tanah kelahiran..
oya, Bunda berkenan gak ebook dari Tung Desem Waringin yang dibagikan secara gratis..
Jika berkenan, Bunda saya undang berkunjung ke blog saya. Disana saya menyesiakan free ebook tsb, bisa di download.
Terima kasih bun..
saya baru baca sekarang bu..
puisi yang penuh makna..
untaian katanya mengalir memenuhi rongga rongga jiwa *halah.. 😀
puisinya bagus…
1970?
belum lahir… 😀
belm pernah baca bund,,
🙂
sekarang kan sudah, uni
wah ane malah jadi bisa lebih dinikmati gara-gara pengantar mba’ terhadap puisina tu… ^_^’,
Terima kasih ya.
Ikut baca puisinya…
Puisinya Bu Em juga sudah saya baca…
Ternyata kita adalah Keluarga Em…
wah iya pak, bisa buat grup Boney “EM” dong, formasi udah pas, xi..xi..xi..
hahahaha kebayang deh kita pakaicelana cutbray kelap kelip…
Mari kita buat Boney EM ;))
EM
Setuju mbak…memang betul2 untaian kata yg indah dan menyentuh sebagaimana puisi2 beliau lainnya. Memang beliau ‘harta’ tak ternilai bagi bangsa kita… Semoga akan muncul banyak penerus yg sekaliber beliau.
Krn udah tau situsnya aku jadi ingin tau puisinya yang lain nih. Mbak Mechta, ternyata jago puisi juga ya.
Suka banget, dan juga puisi2 beliau yg lain.
Saya pernah membaca puisi ini sebelumnya. Karya karya Pak taufik Ismail memang sarat makna, dengan pilihan kata yang bisa di kunyah oleh audiens. Tante suka juga ya sama puisi ini?