Model dalam foto ini adalah seorang ibu penjual buah di tepi jalan di wilayah Kintamani, Bali. Buah yang dijualnya adalah buah lokal hasil perkebunan setempat.
Kita sudah mahfum kenyataan buah lokal masih kalah saingan dengan buah import. Bahkan di pedagang kaki lima dan asongan lebih banyak yang menjual aneka buah dari luar negeri, dikarenakan harganya bisa lebih murah daripada buah produksi dalam negeri. Konsumen mana yang menolak harga yang lebih murah? Miris ya.
Katanya kita bangga sebagai bangsa, ayo dong kita konsumsi buah lokal, supaya pemandangan cantik seperti di bawah ini masih bisa kita nikmati, sekaligus meningkatkan pendapatan saudara-saudara kita para petani buah .
Di artikelnya mbak Dani, kita bisa tahu menurunnya produksi buah jeruk Kintamani yang manis itu. Kebun jeruk di tepi jalan raya ini tidak berpagar, tak ada kekhawatiran buah akan diambil orang. Ternyata dari percakapan kami di kolom komen, ada kearifan lokal di sana yang membuat orang tak berani mengambil barang yang diketahui milik orang lain, apalagi bila sudah ada “sawen” (penanda berupa ranting atau pucuk daun).
Potret ini di ikut sertakan dalam Kontes Perempuan dan Aktivitas yang di selenggarakan oleh Ibu Fauzan dan Mama Olive.
aku suka jeruuuuk
aku suka jeruuuuuuk
Mb, anak-anak saya g suka jeruk mandarin (yang berwarna orange cerah). Mereka lebih suka makan manggis, duku, salak, mangga serta pisang raja serai yang kulitnya sudah bintik-bintik kehitaman katanya manis (menurut dokter pisang seperti itu lebih tinggi vitamin c nya)
dan lebih ironisnya lagi masih banyak ibu ibu yang belum bisa beli buah lokal karena kanker ya bu. kantong kering.
sekarang bisa disiasati, boleh beli buah satuan lho…
di angkutan umum bisa beli jeruk seharga seribu aja
terima kasih sudah ke sini mbak
Keluarga kami masih sangat menggemari buah lokal, kak, terutama jeruk medan, setiap hari di rumah harus ada jeruk medan itu karena Raja setiap hari minum air perasannya 🙂
jeruk Medan ( atau Brastagi … sebenarnya) memang manis dan berair ya…bagus buat anak2
buah lokal tidak kalah dg buah import ya bun
Ihiks…di pasaran memang kebanyakan buah import ya Bun, saya beli buah di pinggir jalan aj jualannya apel, pear sm anggur merah lho, ga ada sawo atw manggis gituh..
buah lokal mungkin karena penanganannya asal tumbuh aja, kurang perawatan
jadi produksi buahnya juga nggak banyak ya
Mbak Monda, saya termasuk penyuka buah-buah lokal.
Apalagi waktu tinggal di Kabanjahe dulu, jeruk itu sesuatu banget buat saya…apalagi kalo lagi musimnya, wah, wah…bisa histeris kalo lihat penjual jeruk di pasar buah Berastagi.
Selamat ikut lomba, mbak!
iya mbak, di Brastagi itu buah melimpah ruah ya.. senang melihatnya
baca keterangan ttg sawen…hebat yach orang2 bali…bener2 patuh pd peraturan/adat yg ada….berarti hidup di bali bener2 aman yachh…coba di jkt…..motor ditinggal bentar aja udah raib hihihi…….
ttg buah, iya kasihan para petani krna harga buah impor muraah banget..dan di supermarket juga banyakan buah import dibanding buah lokal……kasihan para petani….kalo begini jadi merindukan jaman pak harto heheh……
oh iya, kabarnya buah jeruk itu juga dibiarkan saja jatuh karena ongkos panen lebih mahall dari harga jual,
kasian ya.. apa kita nggak usah tawar2 aja ya kalau beli buah lokal he..he..
semua kembali pada diri sendiri & kepada pembeli,lebih ingin memajukan produk local atau luar
yang jelas mereka sebagai penjual sudah berusaha membangkitkan semangat itu sejak dini,kalau bukan kita lalu siapa lagi
saya malah g tahu kalau beli buah itu hasil impor atau bukan… hebat ya ibu ini menjual buah hasil dari kebun lokal…
Saya suka analogi Sawennya Mbak, dan penjelasan dari Mbak Ni Made Sri Andani memperkuat bahwa orang Bali itu sangat memperhatikan rambu-rambu. walau hanya dari sebuah tanda.. gak boleh ya gak boleh..
Salut dengan adat Bali 🙂
masyarakat bali sangat menghormati adat istiadatnya yah. btw jadi pengen liat jeruk bergerombol gitu… 😀
Dengan segala pengorbanan dan perjuangan seorang ibu yang dilandasi cinta, kasih sayang dan keikhlasan, maka sangat layak jika surga ditempatkan di bawah telapak kakinya.
Muliakanlah ibumu, ibumu, ibumu kemudian ayahmu. Jangan sakiti hatinya karena ridho Allah ada pada mereka.
Mother, how are you today?
Semoga ridho Allah selalu ada padamu, bukan saja di hari ini, tapi di setiap waktu yang kau lewati.
Saya suka dengan ajakan dari Tante Monda. Yuk kita rame rame konsumsi buah lokal..
Semoga sukses di kontesnya ya Tante. Selamat hari Ibu..
Mbak Monda, thanks ya atas tulisannya Wah ada namaku disebut juga ya. Thanks banget yah..Eh..aku lihat ada yg nanya soal Sawen. Boleh aku jelasin dikit ya Mbak..
Ya, benar. Sawen itu hanya pertanda. Kata dlm bhs Bali yg artinya “sesuatu itu sudah ada yang punya – jadi tolong jangan diambil”. Misal, klu kita beli sekarung beras dr pasar pakai motor, di tengah jalan motor kita pecah bannya & beras itu terlalu berat buat digotong, ya… tinggalkan saja beras itu dipinggir jalan. Kasih aja tanda apa saja (mis.ranting pohon atau sobekan tas plastik) di atasnya. Pasti nggak diambil orang. Itu namanya bahwa beras itu sudah di”sawen”. Ada yg punya, jadi please jgn diambil. Nah ranting pohon /sobekan tas plastik itulah yang disebut Sawen. Cuma sebatang ranting pohon doang. Tapi kalau kita ambil, secara hukum adat kita menjadi pihak yg bersalah (mencuri). Contoh lain dari Sawen adalah cincin pertunangan yg dipakai seorang wanita. . Itu juga disebut Sawen – tanda bahwa gadis itu sudah ada yg punya – jadi tolong jangan dilamar lagi, karena gadis itu sudah disawen. Batas sebuah ladang sdh pasti juga adalah Sawen dg sendirinya. Orang takut salah /hukum karma phala (hukum sebab-akibat) kalau ngambil.
Jadi Sawen itu bukan mistik. Hanya sebuah tanda saja yg dipahami masyarakat lokal. Mirip marka jalan. Misalnya “huruf P yang dicoret’ artinya tolong jangan parkir di sekitar sini. Bukan mistik, Hanya tanda biasa yg dipasang polisi, dipahami masyarakat Indonesia. Kalau kita parkir juga, ya.. ditangkap polisi. Gitu aja sih analoginya.
Aku kebetulan pernah menulis tentang Sawen , tapi nggak tahu gimana caranya membuat nge-link. Barangkali ada gunanya he he..
http://nimadesriandani.wordpress.com/2011/04/30/sawen-pertanda-kecil-yang-ikut-membantu-terciptanya-keamanan-masyarakat-di-bali/
Thanks Mbak Monda.. Semoga sukses kontesnya. Sorry, nulisnya jadi kepanjangan nih he he..
terima kasih mbak penjelasannya, udah melihat linknya dan membuatku makin paham akan budaya, tradisi dan kearifan lokal
senang sekali mbak dapat pengetahuan baru
bangsa Indonesia memang kaya
Aku minta ijin pasang link ke blognya Mbak Monda. Tadi coba-coba bikin page untuk friend List. Thanks ya..
OK mbak, terima kasih
link mbak juga sudah ada di blog satunya yang khusus link
oh iya mbak, hukum adat itu berat ya sanksinya?
Nggak begitu berat sih,Mbak.. tp malu. Sanksinya beda-beda, tergantung peraturan adat desanya. Ada yg disisihkan, ada yang didenda, ada juga yg diarak sepanjang desa sehingga jera dan malu mencuri. Jarang banget yg kena sanksi. Tapi saya rasa, orang lbh takut pada hukum karmaphala. Krn apa pun perbuatan kita sekarang suatu saat pasti akan kembali kpd kita sendiri.
ajakannya bagus sekali mbak, semoga byk yg menggemari buah lokal 🙂
sukses buat kontesnya ya 🙂
selamat hari ibu ya bu! 🙂
Tante Monda, selamat hari Ibu
hehehe..
saya lebih suka jeruk lokal daripada buah import
rasanya koq lebih seger gitu tante..
hehehee
Ayo kita cintai ibu penjual buah lokal… eh, maksud saya, buah2 lokalnya 😀
semoga menang!
sebenernya enak buah lokal ya mbak, kata saya sih .. hehe.
Saya malah ngga suka buah import, semacam apel, anggur, dsb, norak ya .. 😀
Selamat hari ibu.
Terima kasih sudah berpartisipasi di acara kami.
iya miris Bun…
baru aja aku diskusi sm seseorang yg bercerita bahwa bea masuk terigu import itu 0… wow..
bukan murah lagi itu namanya… lama2 negeri ini nggak ada profesi petani deh…
apa sih maunya pemerintah… gemukin kantong sendiri aja..
*maap Bun jd marah2 dimari* hehe..
Selamat Hari Ibu, Bunda Monda… ^_^
semoga sukses kontesnya ya Bun..
Maksudnya sawen itu ada “isinya” ya mbak? Bali memang masih penuh dnegan hal-hal mistis ya. Saya setuju sekali bahwa kita yang harus ikut aktif menjaga hasil bumi negara kita snediri. Sayang aku cuma bisa pulkam setahun sekali sih. Biasanya kalau pulkam, aku khusus ke toko buah dan borong buah tropis, sampai ke sukun dan talas! (Duh jadi pengen makan sawo heheheh)
kurasa sawen cuma sebagai tanda pengenal aja.
mereka lebih takut karma
jangankan buah jeruk, di GWK kulihat motor diparkir sembarangan saja di tempat sepi, nggak ilang tuh
Wah keren. Kalau gak salah di Bali emang ga ‘malingan’ kayak di Jawa hihihi 😀
Sukses mbak…
trims ya Un, sukses buat Una juga
wah info menarik tuh, sawen atau ranting itu apa maksudnya ya ….bagus juga salam 🙂
kalau ada sawen berarti barang itu ada pemiliknya
Terima Kasih Bunda atas partisipasinya. Foto sudah tercatat sebagai peserta.
trims sudah dicatat ya Nchie
untuk model yang terlihat di foto di bayar berapa ya ???? he he he di rumah saya tinggal buah jambu, rambutan . yang lainnya sudah tidak ada lagi. jadi kangen waktu dulu masih punya banyak buah
rumahnya enak banget punya pohon uah, sekarang lagi panen rambutan dong
Postingan cantik Eda, selain kiprah wanita juga harkat buah lokal, Salam
terima kasih ya mbak
aiihhh, aku suka sekali makan jeruk 😀
adding bunda monda, Happy mother day yah
trims ya mam, selamat hari ibu juga ya,
semoga urusan kerjaan segera rampung ya
bener bun, buah lokal kalah saing ma buah import,
jujur kalo dibintan ini jeruk saya masih banyakan konsumsi product dalam negeri seperti jeruk pontianak/kalimantan beli ditukang buah, kadang divariasi sama buah import sih seperti apel, pir dan buah lainnya yang memang dinegara kita nggak ada…buah naga juga pake product lokal dari batam sini atau bintan mantap..
hmm ada kontes tho..wah lama nggak ngontes karena kerjaan..
thanks sharingnya bun..semoga berjaya dalam kontesnya mbak dey dan mbak hanie..:)