Sahabat Pena

Bermula dari ajakan Niee dari Pontianak untuk berkirim surat. Sekarang kami sudah tak lagi hanya berkirim komentar, tetapi juga menjadi sahabat pena.

Nuansanya beda lho antara menulis komen dan menulis surat. Banyak sekali yang ingin ditulis, rasanya seperti mengalir begitu saja. Tulisan tanganpun rasanya jadi aneh,  masih tak terbiasa lagi menulis indah.  Jadi, saat menulis surat masih terbawa kebiasaan tulis resep yang maunya serba cepat, karena apoteker kan sudah hafal tulisan kita.

Dari berkirim surat ini pula, Niee menghadiahiku buku 99 Cahaya di Langit Eropa, yang pertama kuketahui dari catatannya Dhila di sini.   Terima kasih banyak ya Niee, rasanya tersanjung sekali, karena merasa Niee seolah sudah mengenalku dengan baik. Karena sejak lama ada keinginan terpendam untuk melakukan perjalanan seperti Hanum Rais, sang penulis buku. Bahkan ketika interview untuk kuis WWTBAM kujawab uang kemenangan akan kupakai untuk jalan-jalan ke Alhambra, Spanyol, he..he… Keinginan yang rasanya sulit terwujud, kantongnya … itu lho…

Berkirim surat   sudah kulakukan sejak kelas 4 SD. Semula hanya menulis surat untuk opung dan para oom dan tanteku. Tapi karena mereka sempat agak lama membalas, kucari sahabat pena dari majalah anak-anak. Sahabat penaku tersebar di seluruh Indonesia.

Menginjak SMP, kucoba mengirmkan data ke majalah luar negeri, karena ingin memperlancar bahasa Inggris dan ingin punya perangko dari sana. Akhirnya kudapat sahabat pena dari Eropa, Asia,  Afrika dan Australia.

Ternyata, susah juga ya menulis dalan bahasa asing, maklum masih terbatas pengetahuan, sahabat pena sampai protes karena suratku terlalu pendek. Tetapi, meski demikian beberapa di antara mereka dapat bertahan sampai  masa lulus kuliah. Kemudian berhenti sama sekali ketika mulai bekerja.

Sejak Facebook mendunia, kucoba melacak para sahabat pena, yang masih kuingat nama lengkapnya. Sayang, tak ada yang berhasil kutemukan. Hanya satu orang yang kuketahui kabarnya dari berita duka cita di koran. Salah satu teman itu telah berpulang tanpa sempat kutemui, sayang sekali.

58 respons untuk ‘Sahabat Pena

  1. mechta berkata:

    Duluuu…aku juga suka bersahabat pena, tapi seiring waktu akhirnya tak tersambung lagi tali silaturahmi melalui surat itu 😦 Terakhir mempunyai sahabat pena saat masih kuliah, satu orang dari Sukabumi dan satu dari palembang…ah..apa kabar mereka sekarang ya? Terimakasih mbak, sudah mengingatkan tentang hal ini….eh, mungkinkah kita bisa bersahabat pena juga ? 🙂

  2. Puteriamirillis berkata:

    saya belum pernah punya sahabat pena mbak, tapi pernah kirim surat ke artis ersamayori dan regina pingkan saat itu mereka baru aja jadi jaura 1 gadis sampul majalah gadis. padahal dulu sempet langganan majalah bobo dan gadis tapi kok ga pernah kepikiran sahabatan pena ya mbak…nyesel saya…

  3. Ichaawe berkata:

    baca dari atas sampe ke komen2nya juga… ternyata banyak yang mengaku punya sahabat atau pernah bersahabat pena..kok aku ga pernah yah??? *apa ga normal yah aku ..heheh*

    Pernah sempet kirim2an surat sama pacar dulu jaman smp…jeeeaaah… *abege centil*.

  4. p49it berkata:

    Semasa SMP saya pernah memenangi sebuah kuis di Majalah Bobo. Akibat dari terpampangnya nama dan alamat saya dalam majalah tersebut, berdatanganlah surat-surat dari hampir seluruh penjuru Indonesia. Awalnya senang, Bu, bisa mengenal orang dari daerah yang berbeda. Tapi karena masih anak SMP, kegiatan berbalas surat tersebut terhenti karena masalah perangko 😀

Tinggalkan komentar