4 sore di Ranah Minang selalu dihiasi dengan guyuran air hujan, terkadang hanya rinai tak berarti, terkadang hujan selebat-lebatnya. Tetapi hambatan alam ini tak mau dipakai sebagai alasan membatalkan rencana yang telah disusun. Bahkan kalau perlu ditunggu saja sampai hujannya reda. Jadi, tak perlu hari hujan diisi hanya dengan bermuram durja atau menarik selimut agar kembali lelap.
Sedang asyik berpose di dasar Ngarai Sianok, mendung yang sedari tadi menggantung berubah menjadi gerimis, lebih baiklah berteduh dulu di pondok dan menikmati minuman hangat. Begitupun ketika mendekati Lembah Anai hujan sangat lebat, untunglah ketika tiba di tempat hanya tinggal gerimis saja. Hasrat terpendam untuk duduk di batu gunung besar sedekat mungkin ke air terjun terkenal itupun tercapai sudah. Puaaaas …… sambil ditutup dengan mencerna durian lezat… si kucing lalok.
Apalagi bila datang ke sana bersama keluarga dan sahabat .
Sore ketiga, berpuas diri merendam kaki dan berjalan di bawah dua air terjun Sarasah Bunta di Lembah Harau, batu-batu di dasarnya cukup membuat telapak kaki tak bersandal menjadi sakit , tetapi tak apalah anggap saja pijat refleksi . Tiba-tiba saja gerimis turun yang menghalangi keinginan mendatangi air terjun ketiga. Segera kami naik ke mobil dan menuju air terjun ke 4 di kawasan itu, hanya bermaksud melihat saja. Sayang sekali air terjun ini sudah dipasangi dinding bercat biru yang sangat tak selaras dengan keindahan lingkungan alam.
Dahulu ketika pertama datang ke sini tahun 89, di tebing vertikal di sepanjang jalan menuju ke 4 air terjun besar ada jajaran air terjun kecil yang alirannya hanya seperti rembesan air. Jumlahnya tak terhitung. Rembesan yang sangat indah. Tetapi kini rembesan air itu tak ada lagi, mungkin debit air sungai Batang Harau sudah jauh berkurang. Padahal gambaran itulah yang tinggal di benakku tentang Lembah Harau. Sayang sekali…. ditambah lagi banyak sampah di mana-mana, dan fasilitas yang cuma seadanya, itu pun tak terawat.
Untunglah kekecewaan itu segera terkikis oleh keindahan lukisan ciptaan Tuhan. Sesudah gerimis reda, muncul pelangi yang indah. Tak hanya satu, tetapi dua lapis. Lapis terluar tipis saja hanya terlihat dengan mata telanjang, tetapi lapis keduanya bisa terlihat membentuk lengkungan busur yang sempurna. Sayang sekali kamera-kamera kami tak mampu menangkap kesempurnaan itu.
Dua sahabat ini yang tak henti mengagumi keindahan alam dan berharap pelangi akan terus mengikuti sampai ke Bukittinggi.
Sore terakhir di Sumatera Barat kami merencanakan untuk mencicipi minuman terbuat dari daun kawa. Penasaran dengan nama daun kawa di banyak warung , kuminta eMak mengantar ke sana. Kami akan mampir ke warung kawa sebelum memasuki kota Bukittinggi, agar bisa merasakan suasananya. Tetapi, kami mengikuti saja saran uda Anto karena katanya ada tempat yang sudah tak jauh lagi dalam jangkauan perjalanan kami dari Sawahlunto. Hujan sore itu sangat deras, dan suasana pun masih dingin karena kami berjalan di kaki gunung. Kami berhenti di daerah Tabek Patah, Batusangkar di sebuah warung sederhana di tepi jalan di antara ladang tebu dan sawah.
Warung sudah dipenuhi banyak pejalan yang berteduh. Pesanan minuman daun kawa langsung diantarkan beserta aneka gorengan yang kesemuanya masih dimasak dengan tungku api. Sangat unik, minuman yang bernama Aia Kawa ini dihidangkan dalam wadah tempurung kelapa beralaskan sepotong bambu. Minuman ini berwarna pekat dan rasanya seperti kopi yang sangat encer.
Aia Kawa ini kurasa hanya ada di Ranah Minang. Bahan dasarnya adalah daun kopi, bukan biji kopi seperti yang kita minum selama ini. Unik bukan ? Menurut uni Evi di Jurnal Transformasi , kebiasaan ini timbul sejak jaman penjajahan karena masyarakat tak diperbolehkan minum dari biji kopi. Daun kopi dilayukan digantung di atas perapian sampai kering, lalu diremas menjadi seperti bubuk teh.
Alhamdulillah, akhirnya bisa sedikit meresapi sekelumit kehidupan masyarakat sehari-hari. Liburan yang amat sangat berkesan.
Salut, Tulisan menarik…saya sempat tinggal di padang hampir setahun tapi jarang jalan-jalan…semoga kelak bisa mampir kesni
Mb, saya mau ke padang pada akhir januari sampai awal februari ini, mau minum kawa daun dan semua yang mb monda makan di sini. Klo mau nhari kawa daun ini di daerah mana ya Mb ?
kami minum aia Kawa itu di Tabek Patah di daerah perkebunan tebu, di jalan antara Bukittinggi – Batusangkar, ada juga warung tak jauh dari Bukittinggi ke arah Payakumbuh,
tempat2 lain banyak juga uda, bahkan depan hotel di Bukittinggi juga ada,
tapi kami cari suasana dangaunya itu.., di dalam kota kan seperti restoran biasa saja
mudah2an ketemu tempatnya dan selamat menikmati wisata kuliner ..
Terima kasih Mb, saya juga sudah coba hubungi eMak LJ. Alhamdulillah, sudah dapat kiriman email dari eMak… 🙂
hmm bunda….asyiknya jalan jalan..terlihat dari aura di photonya..bunda menikmati sekali perjalanannya….:)
thanks for sharing info dan pengalamannya bunda…jadi menginspirasi jalan jalan wisata alam..:)
ayo bunda kapan ke Bintan..:)
Terakhir saya ke lembah harau ini sekitar tahun 1981-an air terjunnya meskipin tipis tapi cukup deras sehingga terlihat memutih (suasana 32 tahun yang lalu).
Wah wah wah…benar-benar hebat Mb Monda, saya yang dari lahir, kecil, dan dibesarkan di Sumatra Barat ini belum pernah minum air daun kawa, bahkan mendengarnya baru sekali ini.Mb Monda malah sudah meminumnya dalam suasana hujan lebat dan dingin. Kebayang betapa nikmatnya. Terima kasih cerita-ceritanya Mb, seakan saya ikut pulang kampuang menikmati perjalan bersama mb Monda dan eMak LJ….. 🙂
kuusahakan banget memang da kalau wisata ke satu tempat mencoba sesuatu yang unik di tempat itu yang tak ada di tempat lain
alhamdulillah terlaksana, dan suasananya dapat pula…
wah, saking jarang jalan-jalan…aku ketinggalan banyak mba..
cerita mba monda seperti dejavu…
jadi bikin kangen 🙂
yuuuk belanja *eh*